Selasa, 25 Mei 2010

SUSU BUKAN UNTUK MANUSIA

Tidak ada makhluk di dunia ini yang ketika sudah dewasa masih minum
susu -kecuali manusia. Lihatlah sapi, kambing, kerbau, atau apa pun:
begitu sudah tidak anak-anak lagi tidak akan minum susu. Mengapa
manusia seperti menyalahi perilaku yang alami seperti itu?

“Itu gara-gara pabrik susu yang terus mengiklankan produknya,” ujar
Prof. Dr. Hiromi Shinya, penulis buku yang sangat laris: The Miracle
of Enzyme (Keajaiban Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia
dengan judul yang sama. Padahal, katanya, susu sapi adalah
makanan/minuman paling buruk untuk manusia. Manusia seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana anak sapi yang juga hanya minum susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu manusia, katanya.

Mengapa susu paling jelek untuk manusia? Bahkan, katanya, bisa menjadi
penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu itu benda cair sehingga
ketika masuk mulut langsung mengalir ke kerongkongan. Tidak sempat
berinteraksi dengan enzim yang diproduksi mulut kita. Akibat tidak
bercampur enzim, tugas usus semakin berat. Begitu sampai di usus, susu
tersebut langsung menggumpal dan sulit sekali dicerna. Untuk bisa
mencernanya, tubuh terpaksa mengeluarkan cadangan “enzim induk” yang seharusnya lebih baik dihemat. Enzim induk itu mestinya untuk
pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan tulang. Namun, karena enzim induk terlalu banyak dipakai untuk membantu mencerna susu, peminum susu akan lebih mudah terkena osteoporosis.

Profesor Hiromi tentu tidak hanya mencari sensasi. Dia ahli usus
terkemuka di dunia. Dialah dokter pertama di dunia yang melakukan
operasi polip dan tumor di usus tanpa harus membedah perut. Dia kini
sudah berumur 70 tahun. Berarti dia sudah sangat berpengalaman
menjalani praktik kedokteran. Dia sudah memeriksa keadaan usus bagian
dalam lebih dari 300.000 manusia Amerika dan Jepang. Dia memang orang
Amerika kelahiran Jepang yang selama karirnya sebagai dokter terus
mondar-mandir di antara dua negara itu.

Setiap memeriksa usus pasiennya, Prof Hiromi sekalian melakukan
penelitian. Yakni, untuk mengetahui kaitan wujud dalamnya usus dengan
kebiasaan makan dan minum pasiennya. Dia menjadi hafal pasien yang
ususnya berantakan pasti yang makan atau minumnya tidak bermutu. Dan, yang dia sebut tidak bermutu itu antara lain susu dan daging.

Dia melihat alangkah mengerikannya bentuk usus orang yang biasa makan
makanan/minuman yang “jelek”: benjol-benjol, luka-luka, bisul-bisul,
bercak-bercak hitam, dan menyempit di sana-sini seperti diikat dengan
karet gelang. Jelek di situ berarti tidak memenuhi syarat yang
diinginkan usus. Sedangkan usus orang yang makanannya sehat/baik,
digambarkannya sangat bagus, bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.

Karena tugas usus adalah menyerap makanan, tugas itu tidak bisa dia
lakukan kalau makanan yang masuk tidak memenuhi syarat si usus. Bukan
saja ususnya kecapean, juga sari makanan yang diserap pun tidak
banyak. Akibatnya, pertu mbuhan sel-sel tubuh kurang baik, daya tahan
tubuh sangat jelek, sel radikal bebas bermunculan, penyakit timbul,
dan kulit cepat menua. Bahkan, makanan yang tidak berserat seperti
daging, bisa menyisakan kotoran yang menempel di dinding usus: menjadi
tinja stagnan yang kemudian membusuk dan menimbulkan penyakit lagi.

Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomendasikan daging sebagai makanan.
Dia hanya menganjurkan makan daging itu cukup 15 persen dari seluruh
makanan yang masuk ke perut.

Dia mengambil contoh yang sangat menarik, meski di bagian ini saya
rasa, keilmiahannya kurang bisa dipertanggungjawabk an. Misalnya, dia
minta kita menyadari berapakah jumlah gigi taring kita, yang tugasnya
mengoyak-ngoyak makanan seperti daging: hanya 15 persen dari seluruh
gigi kita. Itu berarti bahwa alam hanya menyediakan infrastruktur
untuk makan daging 15 persen dari seluruh makanan yang kita perlukan.

Dia juga menyebut contoh harimau yang hanya makan daging. Larinya
memang kencang, tapi hanya untuk menit-menit awal. Ketika diajak
“lomba lari” oleh mangsanya, harimau akan cepat kehabisan tenaga.
Berbeda dengan kuda yang tidak makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.

Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan.
Makanan itu, katanya, harus dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, untuk
makanan yang agak keras harus sampai 70 kali. Bukan saja bisa lebih
lembut, yang lebih penting agar di mulut makanan bisa bercampur dengan
enzim secara sempurna. Demikian juga kebiasaan minum setelah makan
bukanlah kebiasaan yang baik. Minum itu, tulisnya, sebaiknya setengah
jam sebelum makan. Agar air sudah sempat diserap usus lebih dulu.

Bagaimana kalau makanannya seret masuk tenggorokan? Nah, ini dia,
ketahuan. Berarti mengunyahnya kurang dari 30 kali! Dia juga
menganjurkan agar setelah makan sebaiknya jangan tidur sebelum empat
atau lima jam kemudian. Tidur itu, tulisnya, harus dalam keadaan perut
kosong. Kalau semua teorinya diterapkan, orang bukan saja lebih sehat,
tapi juga panjang umur, awet muda, dan tidak akan gembrot.

Yang paling mendasar dari teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah
diberi “modal” oleh alam bernama enzim-induk dalam jumlah tertentu
yang tersimpan di dalam “lumbung enzim-induk” . Enzim-induk ini setiap
hari dikeluarkan dari “lumbung”-nya untuk diubah menjadi berbagai
macam enzim sesuai keperluan hari itu. Semakin jelek kualitas makanan
yang masuk ke perut, semakin boros menguras lumbung enzim-induk. Mati, menurut dia, adalah habisnya enzim di lumbung masing-masing.

Maka untuk bisa berumur panjang, awet muda, tidak pernah sakit, dan
langsing haruslah menghemat enzim-induk itu. Bahkan, kalau bisa
ditambah dengan cara selalu makan makanan segar. Ada yang menarik
dalam hal makanan segar ini. Semua makanan (mentah maupun yang sudah dimasak) yang sudah lama terkena udara akan mengalami oksidasi. Dia memberi contoh besi yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka
mengalami karatan. Bahan makanan pun demikian.

Apalagi kalau makanan itu digoreng dengan minyak. Minyaknya sendiri
sudah persoalan, apalagi kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena
itu, kalau makan makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, akan
lebih parah kalau makanan itu sudah lama dibiarkan di udara terbuka.
Minyak yang oksidasi, katanya, sangat bahaya bagi usus. Maksudnya,
mengolah makanan seperti itu memerlukan enzim yang banyak.

Apa saja makanan yang direkomendasikan? Sayur, biji-bijian, dan buah.
Jangan terlalu banyak makan makanan yang berprotein. Protein yang
melebihi keperluan tubuh ternyata tidak bisa disimpan. Protein itu
harus dibuang. Membuangnya pun memerlukan kekuatan yang ujung-ujungnya juga berasal dari lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih kalau untuk mengolah makanan itu harus menguras enzim dan untuk membuang kelebihannya juga harus menguras lumbung enzim.

Prof Hiromi sendiri secara konsekuen menjalani prinsip hidup seperti
itu dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, umurnya sudah 70 tahun, tapi
belum pernah sakit. Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu
sesekali dia juga makan makanan yang di luar itu. Sebab, sesekali saja
tidak apa-apa. Menurunnya kualitas usus terjadi karena makanan “jelek”
itu masuk ke dalamnya secara terus-menerus atau terlalu sering.

Terhadap pasiennya, Prof Hiromi juga menerapkan “pengobatan” seperti
itu. Pasien-pasien penyakit usus, termasuk kanker usus, banyak dia
selesaikan dengan “pengobatan” alamiah tersebut. Pasiennya yang sudah
gawat dia minta mengikuti cara hidup sehat seperti itu dan hasilnya
sangat memuaskan. Dokter, katanya, banyak melihat pasien hanya dari
satu sisi di bidang sakitnya itu. Jarang dokter yang mau melihatnya
melalui sistem tubuh secara keseluruhan. Dokter jantung hanya fokus ke
jantung. Padahal, penyebab pokoknya bisa jadi justru di usus. Demikian
juga dokter-dokter spesialis lain. Pendidikan dokter spesialislah yang
menghancurkan ilmu kedokteran yang sesungguhnya.

Yang menggembirakan dari buku Prof Hiromi ini adalah: orang itu harus
makan makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau
hatinya sudah senang dan pikirannya gembira, terjadilah mekanisme
dalam tubuh yang bisa membuat enzim-induk bertambah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar